SAYA MUAK DENGAN KELAKUAN PARA POLITISI
Melihat kelakukan para politis akhir-akhir ini membuat saya muak dan mau muntah. Mereka tidak sadar akan kedudukan, tugas, kewajiban dan kewenagan yang mereka miliki. Mereka tidak mempunyai mata bathin untuk membaca susana kebatinan masyarakat secara umum.
Dalam melakukan tindakan yang selalu ditonjolkan adalah penampilan asal beda dengan orang lain. Berbicara tanpa menguasai apa yang dibicarakan. Mengujad pihak lain tanpa alasan yang berdasar atau kadangkala mencari alasan yang mengada-ada. Berbicara dengan menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat "yang bersayap". "Petentang-petenteng" tanpa menyadari bawa kelakuannya itu membuat muak yang melihatnya.
Lihat saja kelakuan anggota DPR sewaktu membahas kasus "KPK vs Polisi dan Jaksa". Bukannya mencari jalan yang baik untuk menyelesaikan persoalan, tapi justru menyalahkan apa yang dilakukan Presiden SBY mengenai pembentukan "Tim 8". Berbagai kritik dikemukakan dengan menggunakan berbagai macam lasan seperti "asas legalitas", "Tim 8 bukan lembaga resmi", "Tim 8 diluar struktur penegakan hukum" dll. Seharusnya sebagai wakil rakyat mereka menyadari bahwa apa yang dilakukan Presiden selaku "Kepala Negara" cukup bijaksana karena bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan.Bukan justru disalahkan dengan berbagai macam alasan. Karena apa yang dilakukan Presiden adalah dalam rangka mencari masukan untuk dipakai sebagai dasar menjalankan hak kontitusional yang dimiliki Presiden.
Yang akhir-akhir ini jyga membuat saya muak adalah sikap para politis (DPR), pengamat dan LSM didalam kasusu Bank Century. Tim pengusung hak angket kelihatan sekali telah memvonis Presiden SBY sebagai "Pihak Yang Bersalah dalam Kasus Bank Century". atau sekurang-kurangnya telah memvonis "orang-orang SBY" atau Partai Demokrat sebagai pihak yang bersalah sehingga Presiden harus bertanggung jawab. Jadi hasil hak angket nantinya hanya untuk memberikan legalitas formal atas apa yang telah mereka putuskan dalam "otak" mereka masing-masing.
Lihat saja sikap mereka ketika meminta Presiden SBY untuk mengeluarkan Perpu agar P PATK dapat memberikan data mengenai aliran dana Bank Century dan kemudian menjelek--jelekan Presiden SBY dalam setiap kesempatan bicara karena tidak mau menuruti kemauan merekan khususnya sikap yang ditunjukan oleh salah seorang anggota DPR dari PDI Perjuangan yang merasa sok hebat dan paling benar dalam masalah ini.
Anggota DPR tidak menyedari kewenagannya bahwa mereka mempunyai kewenangan legislasi, jadi mereka berhak untuk membuat UU atau mengubah UU seandainya dipandang UU tersebut menghambat langkah-langkah untuk mencari kebenaran dan keadilan. Jadi bukannya memaksa Presiden untuk mengeluarkan Perpu. Disamping itu juga jika urusannya hanyalah masalah mencari aliran dana maka DPR bisa memintanya kepada Bank Indonesia karena Bank Indonesia pasti mengetahui mengenai aliran dana tersebut, tidak harus dari PPATK.
Di dalam menggunakan kewenangannya anggota DPR seringkali kelihatan hanya mencari kepopuleran saja. Lihat saja tingkah anggota Tim Pengusung Hak Angket dan Politisi sewaktu berkeliling ke orang-orang yang dianggap tokoh masyarakat. Pola pikiran yang dikemukakan adalah pola pikiran "negatif" dan tingkah-tingkah yang kurang simpatik. Sifat-sifat "aku" selalu ditonjolan, aku yang benar kamu yang salah. Kelihatan sekali mereka mencari musuh bersama yaitu Presiden SBY dan Partai Demokrat. Ketika Partai Demokrat menyatakan bahwa mereka akan mengambil sikap terhadap hak angket setelah adanya hasil audit BPK , semuanya menyalahkan sikap tersebut padahal sikap tersebut meruapakan keputusan yang diambil oleh DPR yang lalu yang sebagian besar anggotanya adalah para pengusung hak angket. Setelah hasil audit BPK diterima DPR dan Partai Demokrat mendukung secara penuh adanya hak angket hal tersebut juga disalahkan, padahal Partai Demokrat konsisiten dengan sikapnya. Justru sikap tersebut dicurigai dan dipandang negatif. Ketika ada anggota Partai Demokrat yang menyatakan akan memimpin Pansus Hak Angket, semuanya ribut sampai meminjam "mulut" salah seorang tokoh nasional untuk mengecamnya. Ketika telah terjadi pemilihan Ketua dan Ketua Panitia dipimpin oleh orang Golkar, juga banyak yang ribut, anggota DPR, Politisi, Pengamat, LSM ribut. Ada yang menyatakan kenapa Partai Demokrat tidak memilih orangnya sendiri., ada yang menyatakan Partai Demokrat akan menggunakan Partai Golkar sebagai bemper dll. Ah...ah...ah...ah... Capek dehhhh ngelihatnya. Mau apa sih para politis, pengamat dan LSM.
Anggota DPR, para pengamat, LSM, orang-orang pintar tolong bicara yang jujur sesuai hati nurani masing-masing. Dikatakan kasus Bank Century merugikan negara sebesar Rp. 6,7 triliun. Tolong bicara yang jujur, jangan menggunakan angka tersebut biar kelihatan "wahhhhhhh". Berdasarkan data yang ada kalau tidak salah dana tersebut adalah dana LPS yang berasal dari premi bank peserta LPS. Jadi ini harus dijelaskan secara jujur. Jangan membodohi masyarakat. Sangat jelas perbedaan antara "dana LPS" dengan "uang milik Negara yang bersal dari APBN". Walaupun LPS modalnya berasal dari APBN yaitu sebesar Rp. 4 triliun, tapi tolong hal tersebut diperjelas, jangan di blow-up biar kelihatan hebat. Dradajat Wibowo dan Kwik Kian Gie sebagai orang terpelajar juga harus menjelaskan hal tersebut secara jelas, jangan merasa benar dan hebat sendiri.
LSM janganlah seolah-olah kalian paling hebat, karena diatas langsit masih ada langit. Jaga cara bicara kalian. Apalagi menyangkut kehormatan kepala Negara.
Sebagai orang yang belajar hukum, saya sangat mengerti dan mendukung 1000 % adanya hak angket. Hak Angket merupakan kewenangan anggota DPR, jadi gunakanlah hak tersebut sesuai sifat dan tujuannya dengan kewenangan yang ada pada anggota DPR. Memang anggota DPR berhak bicara apa saja, tapi bicara tidak pada tempatnya atau asal bicara juga "ora elok".
Saya bukan anggota maupun simpatisan Partai Demokrat. Tetapi sebagai rakyat saya sangat trerusik jika pimpinan kita setiap hari dijelek-jelekin. Seolah-olah tidak ada harganya. Jagalah kehormatan lambang-lambang Negara kita.
Wasalam
Alwesius
Dalam melakukan tindakan yang selalu ditonjolkan adalah penampilan asal beda dengan orang lain. Berbicara tanpa menguasai apa yang dibicarakan. Mengujad pihak lain tanpa alasan yang berdasar atau kadangkala mencari alasan yang mengada-ada. Berbicara dengan menggunakan kata-kata atau kalimat-kalimat "yang bersayap". "Petentang-petenteng" tanpa menyadari bawa kelakuannya itu membuat muak yang melihatnya.
Lihat saja kelakuan anggota DPR sewaktu membahas kasus "KPK vs Polisi dan Jaksa". Bukannya mencari jalan yang baik untuk menyelesaikan persoalan, tapi justru menyalahkan apa yang dilakukan Presiden SBY mengenai pembentukan "Tim 8". Berbagai kritik dikemukakan dengan menggunakan berbagai macam lasan seperti "asas legalitas", "Tim 8 bukan lembaga resmi", "Tim 8 diluar struktur penegakan hukum" dll. Seharusnya sebagai wakil rakyat mereka menyadari bahwa apa yang dilakukan Presiden selaku "Kepala Negara" cukup bijaksana karena bertujuan untuk menyelesaikan permasalahan.Bukan justru disalahkan dengan berbagai macam alasan. Karena apa yang dilakukan Presiden adalah dalam rangka mencari masukan untuk dipakai sebagai dasar menjalankan hak kontitusional yang dimiliki Presiden.
Yang akhir-akhir ini jyga membuat saya muak adalah sikap para politis (DPR), pengamat dan LSM didalam kasusu Bank Century. Tim pengusung hak angket kelihatan sekali telah memvonis Presiden SBY sebagai "Pihak Yang Bersalah dalam Kasus Bank Century". atau sekurang-kurangnya telah memvonis "orang-orang SBY" atau Partai Demokrat sebagai pihak yang bersalah sehingga Presiden harus bertanggung jawab. Jadi hasil hak angket nantinya hanya untuk memberikan legalitas formal atas apa yang telah mereka putuskan dalam "otak" mereka masing-masing.
Lihat saja sikap mereka ketika meminta Presiden SBY untuk mengeluarkan Perpu agar P PATK dapat memberikan data mengenai aliran dana Bank Century dan kemudian menjelek--jelekan Presiden SBY dalam setiap kesempatan bicara karena tidak mau menuruti kemauan merekan khususnya sikap yang ditunjukan oleh salah seorang anggota DPR dari PDI Perjuangan yang merasa sok hebat dan paling benar dalam masalah ini.
Anggota DPR tidak menyedari kewenagannya bahwa mereka mempunyai kewenangan legislasi, jadi mereka berhak untuk membuat UU atau mengubah UU seandainya dipandang UU tersebut menghambat langkah-langkah untuk mencari kebenaran dan keadilan. Jadi bukannya memaksa Presiden untuk mengeluarkan Perpu. Disamping itu juga jika urusannya hanyalah masalah mencari aliran dana maka DPR bisa memintanya kepada Bank Indonesia karena Bank Indonesia pasti mengetahui mengenai aliran dana tersebut, tidak harus dari PPATK.
Di dalam menggunakan kewenangannya anggota DPR seringkali kelihatan hanya mencari kepopuleran saja. Lihat saja tingkah anggota Tim Pengusung Hak Angket dan Politisi sewaktu berkeliling ke orang-orang yang dianggap tokoh masyarakat. Pola pikiran yang dikemukakan adalah pola pikiran "negatif" dan tingkah-tingkah yang kurang simpatik. Sifat-sifat "aku" selalu ditonjolan, aku yang benar kamu yang salah. Kelihatan sekali mereka mencari musuh bersama yaitu Presiden SBY dan Partai Demokrat. Ketika Partai Demokrat menyatakan bahwa mereka akan mengambil sikap terhadap hak angket setelah adanya hasil audit BPK , semuanya menyalahkan sikap tersebut padahal sikap tersebut meruapakan keputusan yang diambil oleh DPR yang lalu yang sebagian besar anggotanya adalah para pengusung hak angket. Setelah hasil audit BPK diterima DPR dan Partai Demokrat mendukung secara penuh adanya hak angket hal tersebut juga disalahkan, padahal Partai Demokrat konsisiten dengan sikapnya. Justru sikap tersebut dicurigai dan dipandang negatif. Ketika ada anggota Partai Demokrat yang menyatakan akan memimpin Pansus Hak Angket, semuanya ribut sampai meminjam "mulut" salah seorang tokoh nasional untuk mengecamnya. Ketika telah terjadi pemilihan Ketua dan Ketua Panitia dipimpin oleh orang Golkar, juga banyak yang ribut, anggota DPR, Politisi, Pengamat, LSM ribut. Ada yang menyatakan kenapa Partai Demokrat tidak memilih orangnya sendiri., ada yang menyatakan Partai Demokrat akan menggunakan Partai Golkar sebagai bemper dll. Ah...ah...ah...ah... Capek dehhhh ngelihatnya. Mau apa sih para politis, pengamat dan LSM.
Anggota DPR, para pengamat, LSM, orang-orang pintar tolong bicara yang jujur sesuai hati nurani masing-masing. Dikatakan kasus Bank Century merugikan negara sebesar Rp. 6,7 triliun. Tolong bicara yang jujur, jangan menggunakan angka tersebut biar kelihatan "wahhhhhhh". Berdasarkan data yang ada kalau tidak salah dana tersebut adalah dana LPS yang berasal dari premi bank peserta LPS. Jadi ini harus dijelaskan secara jujur. Jangan membodohi masyarakat. Sangat jelas perbedaan antara "dana LPS" dengan "uang milik Negara yang bersal dari APBN". Walaupun LPS modalnya berasal dari APBN yaitu sebesar Rp. 4 triliun, tapi tolong hal tersebut diperjelas, jangan di blow-up biar kelihatan hebat. Dradajat Wibowo dan Kwik Kian Gie sebagai orang terpelajar juga harus menjelaskan hal tersebut secara jelas, jangan merasa benar dan hebat sendiri.
LSM janganlah seolah-olah kalian paling hebat, karena diatas langsit masih ada langit. Jaga cara bicara kalian. Apalagi menyangkut kehormatan kepala Negara.
Sebagai orang yang belajar hukum, saya sangat mengerti dan mendukung 1000 % adanya hak angket. Hak Angket merupakan kewenangan anggota DPR, jadi gunakanlah hak tersebut sesuai sifat dan tujuannya dengan kewenangan yang ada pada anggota DPR. Memang anggota DPR berhak bicara apa saja, tapi bicara tidak pada tempatnya atau asal bicara juga "ora elok".
Saya bukan anggota maupun simpatisan Partai Demokrat. Tetapi sebagai rakyat saya sangat trerusik jika pimpinan kita setiap hari dijelek-jelekin. Seolah-olah tidak ada harganya. Jagalah kehormatan lambang-lambang Negara kita.
Wasalam
Alwesius
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda